Sekotak Coklat Untuk Annisa
Pagi ini ku kayuh sepeda ku menuju ke sekolah. Seperti biasa aku mengantar pesanan ke pasar terlebih dahulu. Bu Mira sudah sudah menunggu ku di dekat pintu pasar. Ku parkir sepedaku di pinggir jalan. Bu Mira tersenyum padaku. Aku segera memberikan pesanan Bu Mira.
“Hari ini nggak bareng Nina?” tanya Bu Mira padaku.
“Ya, nanti. Nina sudah menunggu di perempatan jalan, Bu.” jawabku.
“Ya sudah, hati-hati ya, An!”
Aku kembali mengayuh sepedaku. Kulihat Nina sudah mulai jenuh menungguku. Aku segera mempercepat laju sepedaku. Aku tersenyum malu padanya, tapi Nina tetap tersenyum seperti biasa. Ah, ku kira Nina marah. Kami segera mengayuh sepeda ke sekolah.
Jam 7 kurang lima menit. Untung saja belum bel, padahal jam pertama hari ini ulangan kimia. Tapi tenang, aku semalam sudah belajar, pasti aku bisa.
Aku masuk ke kelas. Ku sapa teman-temanku dan ku salami mereka. Teman-teman sibuk belajar untuk ulangan sebentar lagi. Bel berbunyi, aku menyiapkan kertas untuk ulangan. Bu Ririn masuk, lalu duduk di kursi guru. Berdo’a dimulai. Bu Ririn menuliskan soal ulangan di papan tulis.
Satu jam pelajaran telah berlalu. Aku sudah selesai mengerjakan soal. Kembali ku teliti jawaban-jawaban yang ku tulis. Ku rasa tak ada yang salah. Ku kumpulkan kertas ulangan ku di meja guru. Disusul Fajar, lalu Ima. Aku keluar kelas lalu duduk di bangku taman.
“Wah lagi-lagi Annisa yang selesai duluan.” kata Ima, ia duduk di sampingku.
“Iya nih, kapan ya aku mencetak rekor?” Fajar duduk agak jauh dari aku dan Ima.
“Yah kapan-kapan aja, tapi kamu kan hamper barengan ma kita ya Im?” kataku.
“Tapi tetap aja Annis yang lebih dulu.” Ima menatap ke lapangan basket.
Bel istirahat kedua berbunyi. Aku dan Nina berjalan menuju mushola. Sudah banyak antrian di depan tempat wudhu. Hal itu mengurungkan niat teman-temanku untuk sholat lebih awal. Tapi bagiku nggak masalah, asal bisa seawal mungkin. Imam memulai dengan takbirotul ihrom.
Pelajaran terakhir. Uh… ngantuk banget deh. Tapi bentar lagi pulang, semngatku bertambah saat ingat ini adalah Hari Sabtu. Besok Hari Ahad….. senangnya…
Akhirnya jam pelajaran terakhir selesai. Aku segera membereskan buku-buku ku, lalu bersiap untuk pulang. Ku lihat jam di HP ku, jam setengah dua. Insya Allah sampai rumah jam dua. Perjalan dari rumah ke sekolah kira-kira setengah jam.
Aku dan Nina mngambil sepeda. Di belakangku ada Fajar. Fajar tersenyum padaku. Aku segera mngayuh sepedaku mengingat sudah ada antrian. Nina menyusulku di belakang.
“Annis, ntar mampir dulu ke toko ya, aku mau beli sesuatu.” kata Nina.
“OK! Tapi aku nanti di traktir kan?” godaku.
“Nggak ah, males!” Nina cemberut.
“Yee… kok gitu sih, ya udah nggak ku anterin lho!”
“Ya deh, ntar.”
“Nggak ding, cuma bercanda!”
Nina berhenti, aku pun ikut berhenti. Ku parkir sepeda ku di depan toko. Nina masuk toko, ku ikuti di belakangnya. Aku melihat sekotak coklat yang mengingatkanku pada Mbak Dina. Hemm… kayaknya enak. Tapi coklat itu mahal, waktu itu aja Mbak Dina yang beliin. Ya udah kuurungkan niatku membeli coklat itu.
Aku dan Nina berpisah di pertigaan jalan. Aku mengayuh sepedaku sampai ke rumah. Ku cium bau harum masakan. Ini pasti masakan ibu. Aku segera memarkir sepeda. Ku lihat motor Mbak Dina di sana, berarti Mbak Dina udah pulang.
“Assalamu’alaikum!” teriakku.
“Wa’alaikum salam!” jawab ibu.
“Bu, Mbak Dina mana?”
“Tuh di dalam, paling baru ganti baju.”
Aku melepas sepatuku lalu berlari menuju kamar Mbak Dina. Ku ketuk pintu kamarnya, ku dengar suara merdu Mbak Dina melantunkan lagu buatannya. Aku masuk, ku lihat ada sebuah amplop besar berwarna coklat. Ku buka amplop itu, ternyata itu adalah piagam juara pertama lomba menyanyi tingkat
nasional. Aku kaget bukan main. Kapan Mbak Dina lomba? Kok nggak pernah ngasih tahu aku? Mbak Dina keluar dari kamar mandi.
“Lho An, udah pulang? Nggak ada kegiatan rohis ya?” tanya Mbak Dina.
Aku diam dan memasang wajah cemberut. Mbak Dina tetap nyanyi-nyanyi sambil membereskan mejanya.
“Mbak Dina jahat! Ngapain sih nggak pernah ngasih tahu aku?” aku memulai bicara.
“Ngasih tahu apaan?” Mbak Dina melihat piagamnya di tanganku. “Oh.. itu, habis kamu kemarin sibuk ngurusin acara di sekolahan kan? Mau mbak kasih tahu, tapi kayaknya kamu capek banget, ya udah nggak jadi.”
“Trus abis itu kok nggak bilang apa-apa?” aku masih memasang wajah cemberut.
“Yah, kirain kamu udah tahu, ya udah aku nggak bilang apa-apa.”
Aku memeluk Mbak Dina saat itu juga. Mbak Dina mengelus kepala ku dengan lembut.
“Mbak besok beliin aku coklat ya.” bisikku.
Entah Mbak Dina dengar atau tidak, aku langsung berlari keluar kamar Mbak Dina.
Ibu masuk kamarku. Aku segera bangkit dari tiduranku.
“Makan dulu, nanti tidurnya.” ajak ibu.
Aku berangkat dengan malas-malasan. Itulah kebiasaanku, kalau udah masuk kamar pengennya tidur. Mbak Dina udah selesai makan. Yah, lagi-lagi aku ketinggalan. Eh, tapi dari tadi aku kok nggak lihat bapak ya?
“Bu, bapak mana?” tanyaku.
“Bapak kan pergi ke luar kota, ada tugas. Kamu lupa ya?”
Oh iya, aku baru ingat. Tadi pagi bapak udah pamitan, katanya mau keluar kota selama satu minggu. Berarti besok waktu bapak pulang tepat di hari lahirku. Hem… aku mulai membayangkan oleh-oleh yang akan dibawa bapak. Kayaknya enak kalau bapak pulang nanti bawa jeruk bali.
Aku mnggeliat, mataku berkedip-kedip. Ku raih HP di mejaku. Ku nyalakan HP ku. Ah.. jam 2 pagi. Sholat dulu ah. Aku mengulur otot-ototku yang kaku. Lalu aku pergi ke belakang untuk wudhu. Dinginnya malam ini, membuat orang malas untuk sholat malam.
Ku intip kamar Mbak Dina, kayaknya masih tidur. Yah udahlah, aku sholat sendiri. Hem… nikmatnya. Tadarus sebentar ah.
Jam berdentang tiga kali. Udah agak ngantuk. Ku putuskan untuk tidur lagi. Nanti Insya Allah bangun jam setengah lima.
Ku lihat sayup wajah ibu. Mataku terbuka, Ibu. Aku mnguap, menggeliat lagi. Ibu berbisik, ”bangun, sudah subuh.” Aku bangun. Benar ini sudah jam setengah lima. Mbak Dina sudah siap untuk sholat berjamaah. Aku buru-buru mengambil air wudhu. Segarnya air di waktu subuh.
Mbak Dina hari ini mau pergi ke tempat Mbak Ria. Ikut nggak ya? Nggak ah males, mending bantu-bantu ibu aja nganterin pesanan. Walaupun hari Ahad, tapi pesanan masih ada.
Ku keluarkan sepedaku dari kandangnya. Ku letakkan tas berisi baju pesanan di keranjang. Aku siap berangkat ke pasar. Hari ini pasar Nampak ramai. Dari kejauhan ku lihat seseorang yang ku kenal. Fajar. Ngapain dia di sini? Tanpa piker panjang, segera ku hampiri dia.
“Assalamu’alaikum.” salamku.
“Wa’alaikum salam.” jawabnya setengah kaget.” Ngapain ke sini? Mau belanja ya?”
“Lho harusnya aku yang tanya, ada perlu apa kamu sampe ke pasar segala.” balasku.
“Beliin makanan buat adek. Katanya mau dibeliin siomay.”
“Oh… aku mau nganter pesanan.” aku menyodorkan tas pesanan itu.
“Ya udah, aku pulang dulu ya, kasihan adekku. Assalamu’alaikum.” katanya sambil berlalu.
“Wa’alaikum salam.”
Udah hampir seminggu bapak ke luar kota. Aku sudah kangen. Dua hari lagi bapak pulang. Senangnya. Nggak biasanya jalanan hari ini ramai. Padahal kayaknya nggak ada acara tertentu. Nina menghampiriku seperti biasa.
Sampai di sekolah. Aku lupa! Ada tugas buat puisi, gimana nih? Aku sama sekali belum buat. Tapi masih ada waktu dua jam pelajaran. Aku harus buat sekarang juga.
Selama pelajaran Fisika otakku berputar nyari kata-kata untuk puisi ku. Tapi sekian lama berpikir yang ada malah rumus-rumus Fisika. Emang deh, soal mengarang aku nggak jago. Aku terus berpikir, sampai tiba-tiba…
“Annisa kerjakan soal nomor 3 di depan.” perintah Pak Guru.
Oh tidak, aku sama sekali belum mngerjakan! Ya Allah, gimana ini? Aku mencoba untuk tenang. Aku pasti bisa. “Ya Allah berilah kemudahan.” bisikku. Aku mengambil spidol dengan sedikit gemetar. Nggak biasanya aku setegang ini. Ah, ini gara-gara puisi! Aku mencoba mengerjakan sesuai dengan apa yang aku pikirkan. Aku mundur, kembali ke bangku ku. Pak Randy memeriksa hasil pekerjaanku. Jantungku berdebar-debar, jangan-jangan salah. Ku dengar ada yang memanggilku. Aku menoleh, Fajar!
“Annisa!”
“Ada apa? Jawabanku salah ya? Duh, gimana dong?” aku benar-benar salah tingkah.
“Nggak kok, cuma mau tanya, kok bisa ngerjain soal itu sih? Aku dari tadi nyobain nggak bisa-bisa.”
Ha!? Yang benar saja, aku kan cuma asal ngerjain. Mana tahu benar atau salah. Tapi kayaknya Pak Randy mengiyakan jawabanku. Alhamdulillah terimakasih ya Allah. Untung aja benar. Benar-benar keajaiban dari Allah. Tapi aku masih belum membuat puisi. Gimana nih? Tenang, pasti Allah akan membantuku. Aku jadi ingat, kenapa aku nggak buat puisi tentang kebesaran Allah? Kata demi kata ku untai sedemikian rupa. Bel pelajaran Bahasa Indonesia sudah berbunyi. Aku lega, akhirnya aku bisa mengerjakan tugas dari Bu Hesti. Alhamdulillah.
Bel pulang bordering seperti nada di HP ku. Akhirnya pulang. Ah iya, lagi-lagi kau lupa! Aku baru ingat kalau harus mengembalikan buku milik Ima. Padahal Ima sudah pulang. Kasihan Ima kalau bukunya belum ku kembalikan, nanti dia nggak bis belajar. Ku putuskan untuk mampir ke rumah Ima, sebelum pulang. Biar nanti Nina ku suruh pulang duluan.
Kami berpisah di perempatan jalan menuju rumah Ima. Nina sudah jauh tak trlihat. Ku kayuh sepeda ku sampai di depan rumah Ima. Ku ketuk pintu rumah Ima. Ima muncul dari balik pintu. Ternyata dia juga lupa kalau bukunya ku pinjam. Tapi syukurlah, aku bisa mengembalikannya tepat waktu. Jam HP ku menunjukkan angka 3.58, hamper jam empat. Aku harus cepat-cepat pulang sebelum Ibu dan Mbak Dina mencariku. Aku pamit pulang, Ima mengantarku sampai depan rumahnya.
Rasanya sepedaku semakin berat, seperti tak mau ku kayuh untuk pulang. Tapi tetap ku paksakan untuk segera pulang. Angin begitu kencang. Berkali-kali mataku kemasukkan debu. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang terasa pedih. Tak ku sangka ada sebuah motor yang tiba-tiba menggandeng sepeda ku. Aku terjatuh. Pandanganku mulai kabur. Sayup-sayup ku dengar suara orang-orang meneriakkan ‘tabrakan-tabrakan!’ Tapi tak ku hiraukan suara-suara itu, kepalaku pusing dan aku tak bisa melihat apapun.
Sayup ku dengar suara seseorang yang pernah ku kenal. Suara itu memanggil-manggil namaku.
“Dek, Dek Annis, bisa dengar suara Mbak kan?”
“An, ini Nina An, kamu dengar nggak?”
Perlahan mataku terbuka. Ku lihat wajah cemas Mbak Dina dan Nina di sampingku. Ku lihat sekeliling. Aku nggak kenal tempat ini. Ini bukan di kamar tidurku. Tapi kenapa aku ada di sini?
“An, kamu udah bangun?”
“Dek, kamu udah sadar?”
Aku diam saja. Aku mencoba mengingat-ingat kejdian yang ku alami sebelum aku di sini. Oh iya, aku kemarin terserempet motor lalu aku nggak sadar.
“M…Mbak…Ibu dimana?” tanyaku pelan.
“Ibu ada di luar sedang membeli sarapan.” jawab Mbak Dina cemas.
“Ini jam berapa? Hari apa?” tanyaku lagi.
“Ini jam 8, hari Kamis, kamu pingsan selama satu malam.”
“A.. aku belum sholat Mbak!” aku mencoba untuk bangun.
“Nggak papa, kamu kan kemarin belum sadar, jadi nggak papa.”
Aku meraba-raba kepalaku, kepalaku diperban. Tapi Alhamdulillah aku nggak papa, hanya saja rasanya sedikit perih. Ibu muncul dari balik pintu. Ibu tersenyum lega. Ibu mendekatiku lalu mencium keningku.
“Maaf bu, Annis kurang hati-hati.”
“Nggak papa, lain kali lebih hati-hati ya!” kata ibu sambil menahan tangis.
“Nin, kamu nggak sekolah?” tanyaku.
“Aku ijin sebentar, nanti teman-teman juga mau menengokmu.”
Aku merasa pusing sekali. Kepala ku terasa nyeri. Tiba-tiba aku jadi teringat bapak, rasanya kangen sekali. Siang ini rasanya sepi. Ibu pulang, katanya mau ngaterin pesanan sebentar. Mbak Dina kayaknya baru beli makan siang pas aku tidur tadi. Sampai sekarang belum ke sini lagi. Nina di sekolah. Katanya teman-teman mau njeguk. Tapi jam segini sekolah belum usai.
Hhh…ini memang salahku, kemarin nggak hati-hati. Tapi mungkin ini hadiah dari Allah agar aku lebih bersyukur dengan nikmatnya kesehatan. Alhamdulillah.
Jam 2.00, Mbak Dina membuka pintu ruang rawatku. Ku lihat ada Ima, Nina, Rani, Lia, Santi, Aisyah, Deni, Fatih dan Fajar. Perwakilan kelasku. Teman-temanku masuk satu persatu. Mereka merasa sedih aku mendapat musibah. Ku ceritakan kejadian kemarin sore. Tapi aku jadi nggak enak, Ima merasa bersalah karena kemarin tidak menemaniku pulang. Tapi aku benar-benar tidak menyalahkan siapapun. Mereka pulang, katanya besok mau balik lagi. Terinakasih ya Allah, telah Kau berikan aku keluarga dan teman-teman yang begitu menyayangiku, ucapku dalam hati.
Hari ini Hari Jum’at. Sesuai kata bapak, bapak hari ini pulang. Aku udah berpesan sama Mbak Dina supaya ngasih tahu bapak kalau aku kecelakan nanti sesudah bapak sampai. Ibu membawa pesanan baju ke rumah sakit. Katanya nanti mau diantar setelah bapak sampai rumah sakit.
Oh ya, hari ini hari lahirku. Tujuhbelas tahun sudah aku hidup di dunia. Alhamdulillah. Pintu terbuka, bapak muncul dari balik pintu. Bapak mendekatiku, lalu memeluk dan menciumku. Rasa kangenku terobati.
Siang ini begitu indah. Sehabis sholat Jum’at, bapak kembali ke rumah sakit. Teman-temanku datang, kali ini lebih banyak dari pada kemarin, hampir satu kelas.
“An, ini dari kami, terimalah sebagai kenang-kenangan, selamat hari lahir.” Rani mewakili teman-temanku.
“Makasih ya, jadi ngrepotin.”
“Oh ya, ini juga dari bapak.” bapak menyodorkan jeruk bali.
Ah senangnya, ternyata ibu juga memberiku hadiah, kata ibu biar lebih rajin belajar.
“Em… ini dari Mbak Dina, jangan lupa dimakan ya!” Mbak Dina menyodorkan kotak kepadaku.
Aku membuka kotak dari Mbak Dina dengan penasaran. Aku tersenyum. Ku lihat coklat yang ingin ku beli di toko waktu itu.
“Katanya mau dibeliin coklat kan?” goda Mbak Dina.
Kami semua tertawa.
No comments:
Post a Comment